Tradisi memilih muadzin tunanetra (buta) untuk mengumandangkan azan dari puncak menara masjid adalah praktik sosial yang menonjol di era Kesultanan Mamluk di Mesir (1250-1517 M). Praktik ini berakar pada sensitivitas mendalam masyarakat Islam terhadap privasi dan kehormatan rumah tangga
Kairo pada masa Mamluk menjadi pusat kebudayaan Islam yang mengalami pesatnya pembangunan masjid dengan menara-menara tinggi yang megah.Untuk memastikan suara azan terdengar jauh di seluruh kota, muadzin harus naik ke puncak menara. Posisi tinggi ini, bagaimanapun, menjadi sumber dilema etika.
Alasan Utama memilih muadzin tunanetra adalah untuk menjaga kehormatan dan privasi. Inti dari tradisi ini adalah penghormatan terhadap area pribadi dan kehormatan rumah tangga (terutama wanita):
Posisi muadzin di puncak menara memberikan pandangan luas ke seluruh kota, termasuk: Atap Rumah Penduduk: Di masyarakat tradisional, atap rumah adalah area privat tempat wanita sering beraktivitas (beristirahat, memasak, mencuci). Halaman Dalam (Haremlik): Potensi melihat ke dalam ruang pribadi keluarga, khususnya area tempat para wanita berada.
Melihat ke dalam area ini, bahkan secara tidak sengaja, dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap kehormatan (harem) dan privasi keluarga. Dengan menunjuk muadzin yang tunanetra, potensi 'melanggar kehormatan' ini dihilangkan. Muadzin tersebut tidak dapat melihat ke bawah, sehingga privasi penduduk tetap terjamin.
0 Komentar